Kutemukan al-Quranku
Tulisan ini adalah sebentuk kesyukuranku. Mungkin awal dari jawaban pertanyaan kegelisahanku yang telah lama tak ku dengar lagi gelisahnya. Syukurku pada-Nya yang telah kembali mengingatkanku. Memberi celah untukku kembali gelisah—dengan kebaikan dan perbaikan. Lagi-lagi lewat sebuah buku. Semoga kau—yang berbaik hati membaca tulisan ini—tidak bosan.
Kegelisahanku ini tentang al-Quran. Bukan karena al-Quran akan kehilangan kemuliaan, keagungan dan kesuciannya. Tapi, lebih pada diriku, ya diriku, yang tak pernah bisa sampai kepada kemuliaannya, diriku yang tak bisa mendaki keagungannya, diriku yang tak mengerti cara berbesih untuk mengecap kesuciannya.
Pastor Terry Jones mengajak membakar al-Quran, aku tak bergeming. Bukan karena aku yakin bahwa al-Quran sudah ada yang menjaga—tapi lebih karena mungkin aku yang tak peduli. Aku membaca kisah-kisah Para Sahabat, bagaimana Ustman mengkhatamkan al-Quran dalam tujuh hari, aku mencoba melakukannya. Hanya berhasil dua minggu—itu pun di bulan ramadhan. Aku membeli alquran yang di sisinya terdapat tafsir Jalalain, pada akhirnya tak pernah juga selesai aku membacanya. Aku membaca beberapa tafsir, aku menemukan kedamaian, tapi hanya bertahan sesuai dengan kegemaranku membaca. Ketika aku bosan, maka input menemukan kedamaian itu juga ikut melempem. Sampai pun aku berniat untuk membeli alquran dengan terjemahan di tiap sisi halamannya.
Dari semua itu, aku berkesimpulan bahwa aku tak menemukan al-Quranku. Tak kutemukan pengaruh kata tha-ha yang menggetarkan tubuh Umar, membuatnya menggigil. Tak juga aku temui kenikmatan yang membuat seorang sahabat rela tidak keluar rumah karena membaca al-Quran, sehingga Nabi menegurnya dan menentukan batas maksimal mengkhatamkan al-Quran adalah tiga hari. Tidak juga aku rasakan untaian kalimat al-Quran yang membuat Bilal rela dipanggang di padang pasir, Yasir yang tetap kuat dan rela melihat ibunya di tusuk dari kemaluan menembus usus hingga ujung tombak menyembul lewat mulutnya. Tak aku temukan... lagi-lagi tak aku temukan. Aku kehilangan al-Quranku.
Atau jangan-jangan, aku memang tidak pernah menemukannya. Tergantikan dengan indahnya kalimat novel, gelitik cerpen, romantisme roman, dan menggugannya puisi-puisi. Bahkan, dengan penggalan-penggalan kata manusia biasa. Kata mutiara Rosevelt, kata menggugah Stephen King, kalimat menantang Hitler. Ah, kemana al-Quranku? Tak jua kutemukan.
Sampai aku membaca kitab At-taswir al-fanny fil Quran, karangan Sayyid Qutb. Dalam bahasa indonesia, diterbitkan menjadi Keindahan al-Quran Yang Menakjubkan. Alhamdulillah ya Allah... terimakasih. Kau mengembalikan al-Quranku. Buku itu telah mengembalikan al-Quranku menjadi hak milikku sepenuhnya. Aku lah pemilik al-Quranku. Bukan milik para ahli tafsir, bukan juga milik para penterjemah, bukan juga milik percetakan.
Al-Quranku sekarang berbicara. Ya, dia berbicara kepadaku, sesuai dengan pemahamanku terhadapnya. Dan, ia tidak marah, karena ia menjadi temanku. Ia tidak memaksaku untuk mengurai tiap katanya menjadi lautan ilmu dengan puluhan buku. Ia hanya menyuruhku untuk membersamainya berimajinasi. Sebatas imajinasi yang aku punya. Ia menyuguhkanku bahasa-bahasa sederhana, bahasa anak-anak. Ia juga tidak mengatakan aku terlalu liberal, karena ia aku hanya membacanya bersama dia, dan tak mengikutkan orang lain. Kadang ia tertawa dengan terjemahan yang aku pikirkan, tapi ia juga tak langsung menegurku. Ia membiarkanku berfantasi. Merasakan kejadiannya, menampakkan gambarannya, mengecap tiap ketukan iramanya, mendengarkan alunan artistik suaranya, mengeryit bersama kemarahan-kemarahan ceritanya, tersenyum bersama balasan-balasan baiknya, mengembara bersama pemandangan alamnya, melompat bersama perumpamaan-perumpamaannya, menangis bersama kesedihannya. Ah, terima kasih Allah—Kau telah mengembalikan al-Quranku. Kutemukan kembali al-Quranku.
Hari ini aku membaca surat Yusuf. Wahai! Betapa indah alur ceritanya. Betapa jelas penggambarannya. Aku benar-benar melihat wajah sebal Yusuf ketika saudaranya mengatakan, “Kakaknya dulu juga seorang pencuri.” saat Bunyamin tertangkap mencuri barang Wazir—padahal Yusuf ada di hadapan hidungnya. Ah, betapa aku melihat Yusuf yang memaafkan saudara-saudaranya. Merangkul mereka, dan aku pun, ikut menangis karenanya. Sudahlah, aku berbahagia menemukan al-Quranku.
Kemudian aku membaca surat ar-Ra’d. Di awal surat, pikiranku mengembara menjumpai langit, matahari dan bulan, bumi, gunung dan sungai. Tidak hanya itu, al-Quran pun membuatkuk takjub dengan buah-buahan, kebun anggur, pohon kurma, juga dengan aneka rasa yang diciptakannya. Tapi kau tahu apa setelah itu? Tiba-tiba al-Quran mengejekku. Heh, benar-benar mengejekku. Ia membuatku sedikit keder. Ia dengan lenggahnya mengatakan, “Kau takjub dengan itu semua? Halah kau benar-benar salah besar!”
“Kenapa?” tanyaku heran. Ia dengan tegas menjawab “Seharusnya kau lebih heran kepada orang-orang yang mengatakan, ‘apabila kami telah menjadi tanah, bagaimana mungkin kami akan menjadi makhluk lagi?”
Terimakasih Allah, telah mengembalikan al-Quranku. Telah mempertemukan aku dengan al-Quranku. Ini adalah keutamaan dari Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku termasuk orang-orang yang bersyukur—atau tidak.
Komentar
Posting Komentar