Lamaran Kematian
Tak tahu apa kata sifat yang tepat untuk menggambarkannya. Seperti seorang anak kecil yang menemukan tempat persembunyian baru; persembunyian yang tak seorang pun tahu. Persembunyian berupa dunia yang dipahami semua orang, tapi mereka tak merasakannya. Persembunyian yang letaknya di tempat sederhana, namun hanya segelintir orang yang bisa memanggilnya. Mirip ruang latihan sihir Harry Potter dan laskar Dumbledor-nya.
Ah, semuanya adalah skenario Allah. Dan tidakkah kita tahu, bahwa skenario Allah adalah skenario terbaik. Hanya saja, aku sedang berusaha mencari hikmah dari sebuah ruang baru, yang Allah bukakan rasa dan aromanya—untukku.
Tidak mudah mempercayainya—maksudku meyakininya. Aku percaya bahwa itu ada, tapi sebenarnya—aku bisa jadi—belum yakin. Tapi Allah selalu punya cara, ketika ia menginginkan kita tahu dengan yakin. Yah, lewat kejadian-kejadian, lewat perantara teman, lewat perantara bukti yang bisa dirasakan. Allah... betapa kecil hamba di hadap-Mu.
Terimakasih Allah, satu tabir baru telah Engkau bukakan lagi. Kali ini tidak lewat buku, tapi lewat kejadian. Aku hanya bisa berfikir lagi dan berfikir. Merefleksikan apa yang terjadi pada saudara saya kepada diri saya. Oh, betapa segalanya mungkin. Pertarungan antara kebathilan dan kejahatan, pertarungan antara tauhid dan kekufuran, pertaraungan antara peradaban Islam dan peradaban jahiliyah. Pertarungan yang tak pernah usai, sampai tiba hari saat Ibu melupakan anak dalam susuannya.
Satu hal, Allah, yang bisa hamba petik dari pengalaman hari ini, saya harus segera menyelesaikan dan memantapkan hati terhadap lamaran kematian hamba. Pelajaran kejadian ini menyadarkan hamba bahwa kematian yang pasti itu, harus ditentukan cara dan jalannya. Dari kejadian ini, hamba semakin sadar bahwa, Aduwwum mubin, musuh yang nyata itu telah menjelma sejelma-jelmanya musuh. Dia selalu mengintai dan sedang menodongkan pistolnya—ke kepala hamba.
Genderang perang yang sudah berlangsung berabad-abad, hari ini hamba baru merasakan benar-benar menjadi bagian darinya. Dan hamba syukuri itu. Hamba sekarang telah memilih—masuk ke barisan yang mana. Merasakan menjadi bagian yang akan mati bersama barisan itu. Allah, betapa indah ketika itu datang. Terngiang senyum Hamzah, sebentuk sunggingan kebahagiaan Ja’far.
Tak tahu lagi apa yang harus saya ungkapkan, saya hanya ingin menutup tulisan ini dengan ajakan kepada saudara-saudara saya, Agung, Ario dan yang lainnya. Marilah saudaraku, kita memantapkan lamaran kematian kita. Kita pasti mati! Dan, mati di tangan musuh Allah sepertinya adalah opsi yang sangat menggiurkan—betul kan, saudaraku?
Ah, semuanya adalah skenario Allah. Dan tidakkah kita tahu, bahwa skenario Allah adalah skenario terbaik. Hanya saja, aku sedang berusaha mencari hikmah dari sebuah ruang baru, yang Allah bukakan rasa dan aromanya—untukku.
Tidak mudah mempercayainya—maksudku meyakininya. Aku percaya bahwa itu ada, tapi sebenarnya—aku bisa jadi—belum yakin. Tapi Allah selalu punya cara, ketika ia menginginkan kita tahu dengan yakin. Yah, lewat kejadian-kejadian, lewat perantara teman, lewat perantara bukti yang bisa dirasakan. Allah... betapa kecil hamba di hadap-Mu.
Terimakasih Allah, satu tabir baru telah Engkau bukakan lagi. Kali ini tidak lewat buku, tapi lewat kejadian. Aku hanya bisa berfikir lagi dan berfikir. Merefleksikan apa yang terjadi pada saudara saya kepada diri saya. Oh, betapa segalanya mungkin. Pertarungan antara kebathilan dan kejahatan, pertarungan antara tauhid dan kekufuran, pertaraungan antara peradaban Islam dan peradaban jahiliyah. Pertarungan yang tak pernah usai, sampai tiba hari saat Ibu melupakan anak dalam susuannya.
Satu hal, Allah, yang bisa hamba petik dari pengalaman hari ini, saya harus segera menyelesaikan dan memantapkan hati terhadap lamaran kematian hamba. Pelajaran kejadian ini menyadarkan hamba bahwa kematian yang pasti itu, harus ditentukan cara dan jalannya. Dari kejadian ini, hamba semakin sadar bahwa, Aduwwum mubin, musuh yang nyata itu telah menjelma sejelma-jelmanya musuh. Dia selalu mengintai dan sedang menodongkan pistolnya—ke kepala hamba.
Genderang perang yang sudah berlangsung berabad-abad, hari ini hamba baru merasakan benar-benar menjadi bagian darinya. Dan hamba syukuri itu. Hamba sekarang telah memilih—masuk ke barisan yang mana. Merasakan menjadi bagian yang akan mati bersama barisan itu. Allah, betapa indah ketika itu datang. Terngiang senyum Hamzah, sebentuk sunggingan kebahagiaan Ja’far.
Tak tahu lagi apa yang harus saya ungkapkan, saya hanya ingin menutup tulisan ini dengan ajakan kepada saudara-saudara saya, Agung, Ario dan yang lainnya. Marilah saudaraku, kita memantapkan lamaran kematian kita. Kita pasti mati! Dan, mati di tangan musuh Allah sepertinya adalah opsi yang sangat menggiurkan—betul kan, saudaraku?
make me confuse...
BalasHapus