Memori Tujuh Tahun
Semalam, aku kembali melihatmu. Saat tujuh tahun lalu.
Waktu menarikku ke masa itu. Ketika detik merambat begitu lambat, berpendar di sekeliling kita mengatakan satu hal, bahwa kita tidak lagi di pusaran waktu yang sama. Aku tahu, seketika kita tiba-tiba diam. Diam yang berbeda. Aku diam karena merana dan berharap kau kembali. Tapi, kau diam melampaui semua kehendak berbicara. Karena Tangan Tuhan yang sedang berbicara.
Aku kembali kembali ke masa itu. Memasuki pintu tujuh tahun lalu.
Kutemukan engkau terjaga dengan mata terbuka, tetapi kosong. Aku mendekat dengan mata yang tak lagi bisa membendung. Mata kita bertemu, begitu dekat. Bahkan sangat dekat. Namun dalam kedekatan itu, telah terbentang jarak yang begitu jauh, sehingga kau tidak lagi bisa memandangku. Dan aku, hanya bisa mengamatimu—dari kejauhan.
Tetes kesedihan menetes bersama kenangan tentangmu. Membahana ketika bibirku menyentuh keningmu. Kecupan panjang berisi segala kehangatan yang telah engkau beri. Rasanya aku tidak ingin itu segera berlalu. Aku ingin berlari ke waktu itu, waktu dimana aku tidak mengerti apa-apa, dan kau mengajariku kata-kata. Mengajariku bahasa cinta.
Aku tidak ingin semuanya berbalik begitu saja. Begitu tiba-tiba. Aku menjadi orang yang tahu sementara kau hanya diam, karena Tuhan telah memintamu untuk diam—dan akhirnya MENDIAMKANKU. Aku berbicara sedangkan kau tidak, aku tertawa sedangkan engkau tetap diam. Aku menangis dan engkau, tetap saja diam.
Sekarang, aku lebih tua tujuh tahun. Telah semakin pudar, nada-nada indah dalam memoriku. Entah aku lupa atau sengaja melupakan. Dan semalam … aku kembali lagi melihatmu, saat seperti tujuh tahun lalu!
Sebuah nada-nada menggetarkan kenangan yang sengaja aku kubur. Menarikku kembali seperti terjadi saat ini, di depan mataku.
Aku kembali membuka pintu itu, ah, aku telah menjadi berbeda.
Mataku bertemu lagi dengan matamu. Tapi kali ini kelopakku kering, terlalu banyak yang telah mengikisnya. Kutemukan kembali mata itu. mata yang kosong.
Namun kali ini, pandangan kosong itu menusukku. Ia tidak hanya sekadar kosong, ia seolah berbicara. “Syabli anakku, apa kabarmu, nak?”
Seketika aku hancur. Tak ada lagi yang tersisa. Tujuh tahun yang kubangun. Luluh lantak.
Waktu menarikku ke masa itu. Ketika detik merambat begitu lambat, berpendar di sekeliling kita mengatakan satu hal, bahwa kita tidak lagi di pusaran waktu yang sama. Aku tahu, seketika kita tiba-tiba diam. Diam yang berbeda. Aku diam karena merana dan berharap kau kembali. Tapi, kau diam melampaui semua kehendak berbicara. Karena Tangan Tuhan yang sedang berbicara.
Aku kembali kembali ke masa itu. Memasuki pintu tujuh tahun lalu.
Kutemukan engkau terjaga dengan mata terbuka, tetapi kosong. Aku mendekat dengan mata yang tak lagi bisa membendung. Mata kita bertemu, begitu dekat. Bahkan sangat dekat. Namun dalam kedekatan itu, telah terbentang jarak yang begitu jauh, sehingga kau tidak lagi bisa memandangku. Dan aku, hanya bisa mengamatimu—dari kejauhan.
Tetes kesedihan menetes bersama kenangan tentangmu. Membahana ketika bibirku menyentuh keningmu. Kecupan panjang berisi segala kehangatan yang telah engkau beri. Rasanya aku tidak ingin itu segera berlalu. Aku ingin berlari ke waktu itu, waktu dimana aku tidak mengerti apa-apa, dan kau mengajariku kata-kata. Mengajariku bahasa cinta.
Aku tidak ingin semuanya berbalik begitu saja. Begitu tiba-tiba. Aku menjadi orang yang tahu sementara kau hanya diam, karena Tuhan telah memintamu untuk diam—dan akhirnya MENDIAMKANKU. Aku berbicara sedangkan kau tidak, aku tertawa sedangkan engkau tetap diam. Aku menangis dan engkau, tetap saja diam.
Sekarang, aku lebih tua tujuh tahun. Telah semakin pudar, nada-nada indah dalam memoriku. Entah aku lupa atau sengaja melupakan. Dan semalam … aku kembali lagi melihatmu, saat seperti tujuh tahun lalu!
Sebuah nada-nada menggetarkan kenangan yang sengaja aku kubur. Menarikku kembali seperti terjadi saat ini, di depan mataku.
Aku kembali membuka pintu itu, ah, aku telah menjadi berbeda.
Mataku bertemu lagi dengan matamu. Tapi kali ini kelopakku kering, terlalu banyak yang telah mengikisnya. Kutemukan kembali mata itu. mata yang kosong.
Namun kali ini, pandangan kosong itu menusukku. Ia tidak hanya sekadar kosong, ia seolah berbicara. “Syabli anakku, apa kabarmu, nak?”
Seketika aku hancur. Tak ada lagi yang tersisa. Tujuh tahun yang kubangun. Luluh lantak.
Komentar
Posting Komentar