Mencintai Diam-diam
Lama,
Aku terpatung memandangimu—dalam kapasitasku. Kau, adalah lukisan yang begitu indah sedangkan aku, seorang gembel yang memandangimu—hanya mampu dari luar jendela. Kau tepat berada di dekatku. Tapi semakin lama aku mengagumimu, semakin jauh jarak itu merenggangkan kamu dan aku.
Dalam kapasitasku, aku tersenyum dari luar jendela. Melihatmu dikagumi banyak orang. Karena kau memang pantas dalam kapasitasmu. Setiap detil tubuhmu menginterpretasikan keindahan, juga ketinggian.
Aku, dalam detil aku dekil. Bahkan juga kerdil. Aku hanya tersenyum sendiri dari luar jendela. Memandangimu dalam nadir. Mungkin, senyum yang menyindir—ketir.
Memang begitulah kapasitasku. Mau diapakan lagi. Tidak ada.
Aku masih berdiri dengan mata yang tak lepas darimu. Aku berpikir, mungkin beginilah mencintai diam-diam—dari luar jendela. Pada akhirnya harus menerima. Semua kapasitas. Tidak berontak mendobrak kaca, tapi berbalik dan tersenyum. Menerima.
Aku harus pergi. Tapi tubuhku tak berbalik. Aku berusaha menerima. Betapa sulit. Asem!
Aku berbalik. Melangkah dan menerima. Menunduk dan melawan keingingan untuk kembali. Aku kembali tersenyum, senyum yang menyindir.
Tapi aku tak tahan.
Aku menoleh.
Mataku menangkap sebuah hembusan nafas pada kaca bertuliskan, “Aku mencintaimu dalam kapasitasmu.”
Aku terpatung memandangimu—dalam kapasitasku. Kau, adalah lukisan yang begitu indah sedangkan aku, seorang gembel yang memandangimu—hanya mampu dari luar jendela. Kau tepat berada di dekatku. Tapi semakin lama aku mengagumimu, semakin jauh jarak itu merenggangkan kamu dan aku.
Dalam kapasitasku, aku tersenyum dari luar jendela. Melihatmu dikagumi banyak orang. Karena kau memang pantas dalam kapasitasmu. Setiap detil tubuhmu menginterpretasikan keindahan, juga ketinggian.
Aku, dalam detil aku dekil. Bahkan juga kerdil. Aku hanya tersenyum sendiri dari luar jendela. Memandangimu dalam nadir. Mungkin, senyum yang menyindir—ketir.
Memang begitulah kapasitasku. Mau diapakan lagi. Tidak ada.
Aku masih berdiri dengan mata yang tak lepas darimu. Aku berpikir, mungkin beginilah mencintai diam-diam—dari luar jendela. Pada akhirnya harus menerima. Semua kapasitas. Tidak berontak mendobrak kaca, tapi berbalik dan tersenyum. Menerima.
Aku harus pergi. Tapi tubuhku tak berbalik. Aku berusaha menerima. Betapa sulit. Asem!
Aku berbalik. Melangkah dan menerima. Menunduk dan melawan keingingan untuk kembali. Aku kembali tersenyum, senyum yang menyindir.
Tapi aku tak tahan.
Aku menoleh.
Mataku menangkap sebuah hembusan nafas pada kaca bertuliskan, “Aku mencintaimu dalam kapasitasmu.”
Komentar
Posting Komentar