Jodoh Itu Menu Makan
Siang itu mata matahari melebar perlahan, seusai hujan yang mengguyur kota Surakarta. Aku mengambil tempat duduk di beranda musholla yang letaknya di sebelah timur kos. Aku mulai membaca sebuah novel—karangan seorang feminis kelahiran Fez, Maroko, berjudul Perempuan-perempuan Haremku —saat seorang sahabat mendekat, kemudian duduk di sampingku. “Tempat nongkrong yang hebat,” katanya tersenyum kemudian menoleh ke seberang jalan, ada nada sindiran halus di dalam kata-katanya. Aku hanya tersenyum, paham bahwa yang ia maksud adalah bangunan dua lantai bercat hijau, ada dua orang gadis sedang berdiri di sana. Yah, itu adalah kos putri, dan posisi dudukku tidak memungkinkan untuk mengajukan pembelaan. “Belum pernah pacaran?” sekarang dia bertanya dan tak ada kata yang bisa aku ucapkan kecuali ‘belum’ dan seulas senyuman. Kemudian dia bercerita tentang petualangan gonta-ganti pacarnya yang berakhir dengan pertunangannya selama dua tahun ini. Aku melirik cincin yang melingkar m...