Mimpi



Impian membuatmu bersemangat. Ia seperti bahan bakar yang membuatmu terus bergerak. Pemantik yang membakarmu ketika kau redup.

“Aku ingin jadi pilot,” kalimat itu sangat lumrah keluar dari mulut kita waktu masih kanak-kanak. Kita bisa menjadi apa saja, setiap sesuatu yang mencengangkan kita, membuat kita bergairah adalah impian kita. Superman, Spiderman, juga bahkan Hulk.

Namun, umur mulai mengikis mimpi-mimpi kita. Semakin besar badan kita, imajinasi kita menyempit, terkungkung dalam ruangan-ruangan kelas, nilai-nilai ujian, juga angka-angka dalam raport. Tokoh-tokoh super telah kembali ke sarangnya lagi, berubah bentuk menjadi komik—tv—playstation—rokok—bola—wanita. Selingan di kala angka-angka nilai diri kita—di kertas ujian—sedang rendah.

Pun ketika kita telah menjadi [dewa]sa. Pemegang kendali seutuhnya tampu perjalanan hidup kita. Kita terhenti pada label yang ditempelkan oleh orangtua, masyarakat, perusahaan, dan orang lain—di jidat kita. Setelah itu, “Aku sudah mapan.” Mungkin itu kalimat yang keluar sekarang. Mapan tidak hanya dalam ketinggian jabatan, tapi juga bahkan, mapan dalam kerendahan dan kemiskinan.  Perhatikan kalimat ini, “Aku sudah banyak dosa, gak bisa diubah lagi. Biarkan saja saya tetap begini, gak usah diceramahin!” 

“…terkadang kamu harus melompat dari mimpi satu ke mimpi yang lain. Agar kau bisa menjajaki mana mimpi yang pas untukmu, juga untuk mengetahui apakah kau sedang terpasung dalam satu mimpi atau tidak.” Katamu malam itu. Sesaat sebelum kau mematikan lampu. Aku memandangi sisa cahaya bola lampu, yang masih ada sesaat setelah dimatikan. Berpendar di kegelapan.

“Kalau mimpi ada tingkatannya, apakah tingkatan mimpi paling tinggi?” tanyaku waktu kita berkebun. Menanam bibit pohon bersama puluhan orang lainnya dalam acara penghijauan hutan. “Tanamlah tanpa kau pernah berharap untuk memetik.” Katamu sambil tersenyum, dan menyodorkan satu lagi lagi bibit pohon.

Aku ingat selalu kata-katamu. Bahkan ketika banyak ustadz mengingatkan tentang surga sebagai impian yang agung. Aku mengerti bahwa surga adalah pengharapan, bentuk lain dari mimpi, yang kita terima karena ridho Sang Maha Kuasa, bukan karena amal baik kita. Amal yang ditanam tanpa mengharap balasan manusia.

“Kalau kau ingin memetiknya, petiklah buah yang melampaui ruang dan waktu. Petiklah kehidupan baru, buah dari pohon yang kau tanam itu.” Sekali lagi aku mengerti. Ada getar halus dalam hatiku, membisikkan sesuatu, bahwa mimpi tertinggi itu, adalah pertemuan dengan yang memberi kehidupan itu.

31/01/2012
*Gambar diambil dari sini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memaknai Ulang Framework Bisnis

Penguin

CIUMAN (Cerita Pendek)