Kemuliaan
Selalu menyejukkan, mungkin kalimat itu bisa mewakili setiap
kemuliaan. Seperti halnya perjalanan ikhtiar saya siang ini. Ah, menyejukkan,
menenangkan dan bagi yang memiliki kemurnian hati akan menguapkan air mata
kejernihan.
Siang ini, roda bis terus saja berdenyit seolah berontak
menggilas aspal. Seolah enggan berputar, mengikis kulitnya terus menerus. Aku berada
di deretan belakang. Di samping seorang kakek sibuk mendekap tas bawaannya. “Ke
Wates, mas?” tanyanya. Aku mencondongkan kepala, memperhatikan pertanyaannya
dan kemudian menganggukkan kepala—mengiyakan. Di sebelah kiri saya, seorang
pemuda yang lebih asik dengan pemandangan di luar bis.
Kemudian bis berhenti. Kenek turun dan dari tangga, naiklah
anak laki-laki, disusul anak perempuan; lebih besar, pastilah kakaknya pikirku.
Dan menyusul kedua orang tua mereka. Subhanallah, dua-duanya buta.
Seketika seorang yang duduk di deretan paling belakang memberikan
tempat duduknya, menuntun sang ibu untuk duduk. Di kursi yang lain, seorang
ibu-ibu tergerak berdiri dan memberikan tempat duduknya untuk sang Bapak. Anak mereka
lebih memilih asyik berdiri di bagian lapang bis, di depan ibu mereka. Mereka sehat-sehat,
lucu-lucu, aktif-aktif, dan juga lincah. Setiap hal yang baru yang mereka lihat
melalui jendela bis, mereka ceritakan kepada orang tua mereka. “Ada gambar
manuk Bu, di tembok” kata si bungsu. Mereka menjadi mata dan cahaya bagi kedua
orang tuanya.
Lebih asyik lagi melihat ketika si bapak berbisik kepada
anak lelakinya. Sebuah bisikan yang saya tahu bahwa itu adalah menyuruh anaknya
untuk menanyakan ongkos kepada si kenek, karena setelah itu si anak segera
mendekati Bapak kenek. Dengan lembut si bapak kenek, mengibaskan tangannya,
sambil tersenyum. Dan saya bisa membaca dari mulutnya, ia mengatakan, “Tidak
usah!.”
Ah, itulah kemuliaan. Selalu menyejukkan menemukannya dalam
diri orang lain yang terpancar tulus. Diiringi senyum dan sikap perhatian tak
mengharap balasan.
Sepertinya alam juga mengerti fenomena kemuliaan yang aku
temukan siang ini. Awan berubah menjadi teduh, hawa panas berganti menjadi
sejuk, dan matahari mulai berselimut. “Bu, hujan!.” Kata si bungsu. Gerimis membasahi
aspal, menguapkan hawa panas ke udara. Ritmik air hujan, melukis aliran-aliran kecil
di kaca jendela bis yang melaju normal. Bersama bau hujan, udara kesejukan
telah menjalar dan bermuara di hati manusia yang merindukan dan memberikan
kemuliaan.
12/02/2012
*Gambar diambil dari sini
Komentar
Posting Komentar