Romantisme Hujan
Gelap menggantung di langit. Aku berdiri bawah emperan kecil tempat biasa para ojek mangkal. Mengkerut kedinginan. Aku mendekap erat tas di dadaku. Berharap segera ada bis Jogya—Solo yang keluar dari terminal. Magrib telah pergi setengah jam yang lalu, tapi hujan dari siang belum juga menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ia masih terus menitikkan rinmik alam musim penghujan. Rambutku sudah basah, beberapa bagian tubuh dan juga kakiku juga basah. Kecuali tas yang aku dekap. Bukan tasnya yang kutakutkan, tapi isinya. Isinya yang membuatku berdebar—dan penasaran.
Setelah kaki kiriku kesemutan dan menggigil, barulah dari belokan terminal terpendar cahaya lampu bis Sedya Utama.Alhamdulillah, gumamku. Segera menerobos rintik hujan, aku naik ke dalam bis. Ada beberapa wajah yang telah duduk di deretan kursi depan dan tengah. Tapi hanya wajah hitam yang terlihat. Alam telah gelap dan Pak supir juga tidak menyalakan lampu. Alhasil, kakiku tersandung di tangga terakhir ketika naik. Alhamdulillah, jempolnya masih ada.
Aku mengambil tempat deretan kursi kelima dari depan. Mempebaiki tempat duduk, meletakkan tas di pangkuan dan merebahkan kepala, mencoba untuk rileks. Tapi aku tak tenang, tapi aku tak tahan. Bersama deru bis yang mulai meraung menembus hujan, aku kembali membuka suratmu. Rintik air mengetuk-ngetu jendela kaca, seolah menemaniku membaca. Mengembun dan menusuk serta membuyarkan kaca. Dingin penasaran yang mampu menembus apapun.
Kunyalakan cahaya kecil hape jadulku. Lebih dari cukup untuk membantu mataku memahami kata-katamu. Guguran kata-kata seiring dengan guyuran hujan terasa menyejukkan. Aku berusaha memahami dengan hati sejernih mungkin, pikiran sedingin mungkin. Aku berusaha menghadirkanmu dalam pembicaraan kecil di dalam bis ini. Aku bertanya dan kau menjawab. Aku bertanya lagi dan kau menjawab lagi—singkat. Aku kehabisan pertanyaan dan kau hanya tersenyum tanpa kata-kata.
Bis berhenti di jalan layang Janti, seseorang naik dan langsung duduk di sebelahku. Seorang laki-laki berperawakan tinggi. Bercelana pendek dengan tas punggung. Ah, pembicaraan kecil kita harus berhenti, tak apalah sudah waktunya untuk istirahat. Kulipat suratmu, kumasukkan ke dalam tas dan kembali kudekap—erat. Aku memperbaiki tempat duduk, merebahkan kepala, melayangkan pandangan ke luar jendela dengan sudut pandang hujan dalam kaca.
Sejenak teman di sebelahku menghidupkan lagu dari handphonenya. Sebuah lagu, yang secara kebetulan bisa mewakili apa yang sedang aku pikirkan, bersama romantisme hujan.
13/02/2012
*Gambar diambil dari sini
Komentar
Posting Komentar