Telepon




Dulu…

Zaman telepon genggam segede bata, di sekolahku ada sebuah telepon umum. Menempel di tembok dekat pintu kantor guru-guru. Menyenangkan melihat siswa-siswi memasukkan koin, melekatkan gagang di telinga kemudian tertawa-tawa sendiri.

Aku, hanya melihat dari kelas. Aku yang tinggal di asrama sekolah, membayangkan punya seseorang yang bisa aku telepon. Namun, aku tak menemukan seorang pun. Di desaku sana, hanya aliran air yang lancar. Aliran listirk apalagi telpon selalu putus di tempat yang bernama kota.

Dulu…

Teman-teman sekelasku adalah para pemburu nomor telepon rumah. Sebuah kebanggaan besar jika ada yang bisa mendapatkan telpon rumah seseorang yang ia taksir dari kelas lain. Seusai sekolah sepi, mereka para pemburu itu akan berdesakan di depan telpon memencet tombol-tombol dan menunggu sebuah suara di seberang sana.

Kalau rame-rame, itu tandanya mereka baru saja dapat nomer baru untuk dijajaki alias pedekate. Tapi kalau sudah nongkrong sendirian dan menyuruh yang lainnya menyingkir, itu tandanya hubungannya dengan si cewek sudah menjurus ke arah dekat.

Sedangkan aku, hanya mengamati dari jauh. Belum juga menemukan seseorang yang bisa aku hafal digit-digit nomornya, juga tidak berbakat jadi bagian dari para pemburu.

Dulu…

Sebagaian temanku yang lain adalah para tukang usil. Secara sengaja ada yang menuliskan nomer-nomer palsu beserta nama perempuan di sekitar telepon umum itu. Tujuannya adalah untuk mengelabui para pemburu nomer telepon. Ada juga kelompok usil yang kerap kali mencari cara agar bisa mengambil receh dari dalam telepon. Benar-benar gila. Cara paling gampang adalah menusuk-nusukkan batang lidi ke dalam lubang koin pada hari petugas telkom terjadual mengambil koin dari dalam kotak telepon. Sesekali usaha ini berhasil, tapi lebih sering gagal.

Tips keusilan lainnya adalah membuat lubang kecil di tepi uang logam seratur rupiah kemudian diikat dengan benang. Ketika menelepon logam dimasukkan, beberapa detik sebelum waktu habis, logam tersebut ditarik kembali.

Mungkin aku tidak termasuk kelompok para tukang usil. Keusilanku masih terbatas pada kerinduanku mendengar suara “hallo” dari gagang telpon itu. Keusilanku hanya memencet dan mendengarkan nada tombol kemudiaan diakhiri suara tut panjang, yang berarti tidak ada satu sambungan pun yang aku buat. Hanya itu.

Hari ini…

Ketika handphone mirip seperti pembalut yang semakin hari semakin tipis. Aku mengetikkan nomor seseorang. Seperti pasir hisap, aku ditarik ke masa lalu. Membangkitkan kerinduanku pada sebuah suara di ujung gagang telepon yang menempel di dekat pintu kantor guru-guru. Sekarang aku punya seseorang yang ingin sekali aku hubungi, aku juga punya nomor digit yang akan aku hafalkan, aku juga yakin akan ada seseorang yang menjawab “hallo” dengan lembut di ujung sana.

Aku bertemu dengan dia hanya satu kali, persisnya aku tidak hafal nada suaranya, dan hari ini adalah pertama kali aku menelepon dia.

“Hallo, Assalamualaikum.” memoriku mengingat kembali suara itu.

“Waalaikumussalam… Ini Syabli.”

“Iya…”

“Ehm, anu…”

“Iya…?”

Tut…tut…tut. Mati!

Bersambung gak ya? :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memaknai Ulang Framework Bisnis

Penguin

CIUMAN (Cerita Pendek)