CIUMAN (Cerita Pendek)
Dina berdiri di depan pintu, wajahnya penuh harap seperti remaja yang menunggu salam dari idola K-pop. Tapi, seperti biasa, Raka hanya meraih kunci motor, mengucapkan 'Bye, Yank,' lalu melenggang pergi. Tanpa ciuman. Lagi.
Dina menghela nafas, “Astaga, suami siapa sih gak peka begini!?” gumamnya sambil mencabuti sticky note kuning di sudut kanan cermin kamar mereka. Di situ tertulis dengan huruf kapital: ‘Happiness is like a kiss. You must share it to enjoy it.’
Pesannya jelas kan? Tapi entah bagaimana Raka malah membacanya seperti pengumuman ramalan cuaca.
“Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan!” batin Dina geram. Di kepalanya, dia mulai menyusun rencana-rencana ‘cerdas’ agar Raka tahu apa yang dia inginkan.
***
Keesokan harinya Dina gak beranjak dari tempat tidur, ia hanya mengerang saja ketika suaminya membangunkan dia untuk bikinkan sarapan. Akhirnya Raka membuat telur ceplok sendiri.
Saat Raka berjongkok di pinggir kasur dan bertanya, “Kamu Sakit?”
Dina memegangi keningnya, lalu berkata pelan, “Hmmm… kalau ada yang cium kening, mungkin aku langsung sembuh.”
Raka mengangguk, “Ok tunggu sebentar!” sambil dia bergegas ke ruang tamu.
“Nih!” katanya menggenggam tangan Dina.
Dina hanya bisa melongo memegang botol minyak kayu putih di tangannya, sambil menatap punggung Raka yang menjauh.
“Cepet sembuh ya sayang, aku berangkat kerja dulu!”
Sepulang suaminya kerja, Dina melancarkan rencana keduanya.
Semenjak suaminya pulang, dia mengencangkan volume lagu-lagu cinta. Playlist mengalir tanpa henti, dari melodi patah hati “Kangen” milik Dewa 19, hingga suara lembut Raisa di “Kali kedua”.
Raka sempat nyeletuk, “Kamu mau ikut kuis Berpacu Dalam Melodi ya, Yank?” Dina gak peduli.
Setelah makan malam, Dina menyalakan lilin-lilin aroma terapi, aromanya semerbak ke seluruh ruangan. Dia mendudukkan Raka di sofa dan mulai menghidupkan Netflix. “Ini ada film bagus, temenin nonton ya!” paksanya.
Layar memunculkan judul ‘A Moment to Remember’ sebelum Dina memencet tombol play. Di setiap adegan romantis, Dina selalu mengintip ke arah Raka untuk melihat reaksinya.
Tapi yang membuat Dina semakin dongkol, bahkan saat adegan pemeran utama pria mencium kening pasangannya, Raka malah nyeletuk;
"Yank, lilinnya kok baunya kayak obat nyamuk, ya?" ujar Raka santai sambil mengambil ponsel.
Dina ingin melempar lilin itu ke kepala Raka.
Besok malamnya Dina belum menyerah, kebetulan ada pertandingan timnas Indonesia melawan Jepang di kualifikasi piala dunia. Dina mendekati Raka dan dengan manja berkata, "Yank, kalau Indonesia cetak gol, boleh dong bonus ciuman buat aku?"
Tapi Raka hanya tertawa dan berkata, "Oke, tapi tunggu ya, baru juga mulai!”
Hasilnya, sepanjang pertandingan muka Raka mengkerut, mulutnya menggerutu, sesekali teriak “Aaaduuhhh!!!”. Matanya kosong menatap layar, menghela nafas panjang. Seolah-olah alam semesta bersekongkol malam itu untuk membuatnya menderita melihat Indonesia kalah 4-0 dari Jepang.
Bukannya dapat ciuman, Dina malah mendapati suaminya yang kehilangan mood sampai berangkat kantor keesokan harinya.
***
“Coba kamu ngomong langsung aja sama Raka!” kata Lia, temannya. Saat Dina curhat lewat telepon. “Dia pasti akan mengerti kok,”
“Tapi kan jadi gak romantis,” sanggah Dina. “Harusnya kan dia sadar sendiri, masa sih gak ngerasa!”
Puncaknya, setelah berbagai macam strategi tidak ada yang berhasil, Dina mencoba rencana dramatis terakhir dengan mogok berbicara. Jatuhnya bukan lagi sebuah rencana, melainkan udah gak tahu lagi harus gimana.
Seharian penuh dia hanya menjawab dengan anggukan, gelengan, atau mendesah panjang. Kata-katanya irit ketika menjawab pertanyaan. Bahkan saat Raka mengajaknya makan ke tempat favoritnya, ia melengos dengan jawaban, “kapan-kapan aja!”
Raka, yang awalnya santai, mulai terlihat bingung dengan tingkah polah istrinya.
Malam itu, dia mendekati Dina yang sedang melipat pakaian.
"Kamu kenapa, Yank? Ada yang salah? Kalau aku salah, kasih tahu aja," tanyanya hati-hati.
Dina tetap diam, tapi dalam hati berkata, Ya ampun, ini aja nggak ngerti juga?!
***
Esok paginya, Dina sudah berada di fase pasrah. Kalau memang Raka nggak peka, mungkin dia harus menerima kenyataan itu.
Dia memasak sarapan, menemani suaminya makan dan mengantarnya sampai ke pintu.
Dina kembali berdiri di depan pintu seperti biasa, kali ini tanpa harapan. Ia menyunggingkan senyum, melambai kecil sambil bilang, “Hati-hati ya Yank!”
Namun, sesuatu yang berbeda terjadi. Raka berhenti di ambang gerbang, berbalik dan berjalan ke arah Dina.
Raka menatap Dina sejenak, lalu berkata, "Yank, tunggu."
Dina mengangkat alis. "Kenapa?"
Alih-alih menjawab, Raka mendekat, memegang kedua sisi wajah Dina, dan mencium keningnya dengan lembut. Dina terdiam, jantungnya berdegup cepat, wajahnya memerah.
"Kok tiba-tiba?" tanyanya dengan suara hampir berbisik.
Raka menggaruk tengkuknya, terlihat salah tingkah. "Aku mikir-mikir... kayaknya itu yang kamu mau selama ini, kan?"
Dina tertawa kecil, matanya berbinar. "Ya ampun, akhirnya nyadar juga! Aku kira harus pasang baliho di depan rumah dulu."
Raka tersenyum canggung. "Ya maaf, aku pikir kamu cuma lagi... ya, aneh aja."
Dina memukul pelan bahu Raka, tapi segera memeluknya dengan erat. "Makasih, Yank. Itu aja yang aku mau kok."
***
Sejak pagi itu, ciuman di kening menjadi ritual mereka. Raka, meski awalnya merasa canggung, mulai menikmati kebiasaan itu.
Sampai suatu pagi, Raka, yang sudah terbiasa, mencium kening Dina di kasur, sebelum dia sempat bangun sepenuhnya.
Dina hanya membuka satu mata dan tersenyum sambil bergumam, "Yank, kamu tahu nggak aku mau apa lagi?" Wajahnya hanya berjarak 5 senti dari wajah Raka.
Raka langsung memasang wajah waspada. "Apa? Mau iphone baru? Mobil? Rumah baru?"
Dina tertawa kecil. "Enggak, aku cuma mau teh manis. Bisa bikinin, nggak?"
Raka menghela napas lega. "Astaga, aku pikir bakal ada kode lagi."
Dina tersenyum puas. Kadang, kebahagiaan memang sesederhana ciuman di pagi hari... atau secangkir teh manis.
Komentar
Posting Komentar